Depresi bisa terjadi pada setiap orang, baik kaya maupun miskin.
Hal ini terlihat dari laporan Survei Kesehatan Indonesia 2023, hasil riset kolaborasi Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Kementerian Kesehatan bersama Badan Pusat Statistik (BPS).
BKPK dan BPS menggelar survei kesehatan terhadap sekitar 315 ribu sampel rumah tangga nasional.
Survei terkait depresi dilakukan dengan kuesioner mini international neuropsychiatric interview (MINI), yakni metode wawancara singkat berisi 10 pertanyaan dengan pilihan jawaban "ya" atau "tidak".
Pertanyaan diajukan pewawancara kepada individu berusia 15 tahun ke atas. Responden dikategorikan mengalami depresi jika menjawab "ya" untuk minimal 2 dari 3 pertanyaan terkait gejala utama, dan jawaban "ya" untuk minimal 2 dari 7 gejala tambahan.
Dengan metode tersebut, pada 2023 prevalensi depresi Indonesia mencapai 1,4%. Artinya, secara nasional ada sekitar 1 dari 100 orang yang mengalami depresi.
Jika ditelisik lagi prevalensinya cukup bervariasi di setiap kelompok ekonomi, tapi masih sama-sama di kisaran 1%.
Prevalensi depresi terendah berada di kelompok responden dengan kemampuan ekonomi teratas, dan depresi tertinggi di kelompok ekonomi terbawah seperti terlihat pada grafik.
Mengutip keterangan dari situs Kementerian Kesehatan, depresi adalah kelainan suasana hati yang memengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang.
Seseorang yang mengalami depresi mungkin merasa sedih, cemas, kehilangan minat terhadap aktivitas yang biasanya mereka sukai, merasa tidak berharga, atau memiliki pemikiran negatif yang berulang tentang diri sendiri, kehidupan, atau kematian.
Depresi dapat menyebabkan penurunan energi, gangguan tidur, perubahan nafsu makan, dan masalah fisik lainnya.
Depresi yang tidak diobati juga dapat menimbulkan komplikasi yang serius dan berbahaya, termasuk peningkatan risiko bunuh diri, gangguan kecemasan, gangguan fisik seperti nyeri kronis, dan masalah dalam hubungan interpersonal.
(Baca: Gen Z Memiliki Prevalensi Depresi Tertinggi di Indonesia pada 2023)