Tingginya rasio utang rumah tangga di Korea Selatan saat ini telah memunculkan kekhawatiran terhadap pertumbuhan negara tersebut.
Utang rumah tangga dalam jangka pendek dapat membantu pertumbuhan. Namun, jika tidak dikelola dengan baik dapat menjadi bom waktu yang bisa memicu deflasi hingga resesi.
Melansir CNBC, ekonom dari lembaga keuangan Nomura untuk Korea Selatan dan Taiwan, Park Jeongwoo, mengatakan, Bank Sentral Korea (BOK) prihatin dengan dampak negatif jangka panjang dari utang rumah tangga di Negeri Ginseng tersebut terhadap pertumbuhan.
“BOK berpendapat bahwa beban utang yang tinggi telah melemahkan daya beli rumah tangga,” katanya, dikutip pada Selasa (11/2/2025).
Masih menurut Park, pada saat yang sama, kuatnya permintaan perumahan yang dibiayai utang mengakibatkan distorsi alokasi modal di seluruh perekonomian, mengakibatkan lebih banyak alokasi modal ke sektor-sektor yang tidak produktif.
Merujuk data International Monetary Fund (IMF), Korea Selatan memiliki rasio utang rumah tangga yang tinggi, sebesar 93,54% dari PDB. Ini menempatkannya di posisi ketiga global.
Namun rasio utang rumah tangga tersebut sudah turun 371,5 basis point (bps) dibanding tahun sebelumnya mencapai 97,26% terhadap PDB.
Urutan pertama ada Swiss dengan 126,45% terhadap PBD. Kedua ada Australia, yakni sebesar 109,81% terhadap PDB.
Di bawah Korea Selatan, ada Hong Kong dengan rasio utang rumah tangga 93,22%, Selandia Baru 91,61% terhadap PDB, Denmark 88,36%, Thailand 86,88%, Norwegia dan Belanda masing-masing sebesar 86,47% dan 84,92%.
Sementara rasio utang rumah tangga Indonesia pada 2023 hanya 16,47% terhadap PDB.
(Baca: Data Rasio Utang dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia era Jokowi)