Pemerintah wajib menyediakan layanan pendampingan korban kekerasan seksual, salah satunya melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).
Namun, menurut survei Litbang Kompas, mayoritas atau 47,9% responden menilai pendampingan psikologis bagi korban kekerasan seksual belum memadai.
Kemudian 35,5% responden lain menilai sudah memadai, 3% sangat memadai, 8,3% merasa tidak ada pendampingan psikologis bagi korban kekerasan seksual di Indonesia, dan 5,3% tidak tahu.
Adapun hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Pasal 40 UU tersebut menyatakan bahwa UPTD PPA, unit pelaksana teknis dan unit pelaksana teknis daerah di bidang sosial, dan/atau Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat wajib memberikan pendampingan dan pelayanan terpadu yang dibutuhkan korban.
Pihak pendamping meliputi petugas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), petugas UPTD PPA, tenaga kesehatan, psikolog, psikiater, sampai pendamping hukum.
"Sulitnya akses para korban untuk mendapat akses pendampingan ini menjadi pertanda bahwa implementasi dari UU TPKS masih jauh dari harapan," kata tim Litbang Kompas dalam laporannya, Senin (11/11/2024).
Survei Litbang Kompas ini melibatkan 540 responden di 38 provinsi Indonesia yang dipilih secara acak dan proporsional.
Pengambilan data dilakukan pada 21-23 Oktober 2024 melalui wawancara telepon. Toleransi kesalahan survei (margin of error) sekitar 4,21% dan tingkat kepercayaan 95%, dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana.
(Baca: Jawa Barat, Provinsi dengan Kasus Kekerasan Perempuan Terbanyak 2023)