Berdasarkan data IQAir, pada Jumat (11/8/2023) pukul 12.00 WIB, indeks kualitas udara Jakarta mencapai 161 poin.
Artinya, kadar polusi udara di Jakarta cukup tinggi, sehingga udaranya tergolong tidak sehat.
(Baca: Polusi Udara Jakarta Makin Buruk saat Musim Kemarau)
Bahan pencemar atau polutan utama di udara Jakarta berupa karbon dioksida (CO2), nitrogen oksida (NOx), particulate matter (PM) 2.5, particulate matter (PM) 10, dan sulfur dioksida (SO2).
Menurut laporan Inventarisasi Emisi Polusi Udara Jakarta, sepanjang 2018 udara Ibu Kota menanggung beban pencemaran dari berbagai jenis polutan tersebut dengan volume berikut:
- CO2: 298.170 ton
- NOx: 106.068 ton
- PM 2.5: 8.817 ton
- PM 10: 7.842 ton
- SO2: 4.257 ton
Berbagai polutan itu umumnya berasal dari sektor transportasi dan industri pengolahan.
Sektor transportasi menjadi penyumbang utama CO2 (96,36% dari total volume pencemaran di Jakarta pada 2018), NOx (72,40%), PM 2.5 (67,03%), dan PM 10 (57,99%).
Sementara, sektor industri pengolahan menjadi sumber polutan nomor satu untuk SO2 (61,96%), serta penyumbang terbesar nomor dua untuk NOx (11,49%), PM 10 (33,9%), dan PM 2.5 (26,81%).
Menurut sejumlah penelitian yang dihimpun IQAir, berbagai jenis polutan di atas bisa memicu penyakit serius.
Jika terhirup dalam kadar tinggi, CO2 bisa menyebabkan tubuh lesu, sakit kepala, kesulitan konsentrasi, pusing, hingga mual dan muntah. Dalam kasus ekstrem paparan CO2 juga bisa menimbulkan sesak napas dan kejang-kejang.
Kemudian NOx bisa meningkatkan risiko penyakit bronkitis, sedangkan SO2 bisa memicu sakit pernapasan dan kardiovaskular.
Risiko sesak napas, sakit paru, sakit jantung, dan kanker juga bisa meningkat akibat paparan PM 2.5 dan PM 10.
Untuk menghindari risiko penyakit akibat polusi udara, IQAir merekomendasikan warga Jakarta agar menghindari aktivitas di luar ruangan, menutup jendela ruangan, dan memakai masker bila bepergian.
(Baca: 10 Kota Paling Minim Polusi Udara di Indonesia, Banda Aceh Juara)