Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), ada 211 kasus mogok kerja di Indonesia selama Januari-Oktober 2024.
Seluruh kasus tersebut melibatkan 28,2 ribu pekerja, serta mengakibatkan hilangnya jam kerja selama 225,6 ribu jam.
Sampai Oktober 2024 Jawa Barat menjadi provinsi dengan kasus mogok kerja terbanyak, yaitu 39 kasus.
Secara kumulatif, kasus mogok kerja di Jawa Barat melibatkan 5,2 ribu pekerja dengan jam kerja yang terpakai mencapai 41,6 ribu jam.
Provinsi lain yang kasus mogok kerjanya tergolong banyak adalah DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Jawa Timur seperti terlihat pada grafik.
Sementara, Kemnaker tidak mencatat adanya kasus mogok kerja di Aceh, Jambi, Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung, NTT, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Papua Barat, dan Papua.
Merujuk pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 232 Tahun 2003, mogok kerja adalah tindakan pekerja yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.
Aturan ini menyebut, mogok kerja menjadi hak dasar pekerja dan/atau serikat pekerja yang dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.
Mogok kerja juga bisa dianggap tidak sah apabila memenuhi kriteria berikut:
- Bukan karena negosiasi yang gagal;
- Tanpa pemberitahuan kepada pengusaha dan instansi ketenagakerjaan;
- Pemberitahuan kurang dari 7 hari sebelum pelaksanaan mogok kerja; dan
- Mogok kerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia, yang dilakukan oleh pekerja/buruh yang sedang bertugas.
Adapun kelompok buruh kini berencana menggelar mogok kerja nasional jika pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada Januari 2025.
"Aksi ini direncanakan akan menghentikan produksi selama minimal dua hari," kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, dilansir dari CNN Indonesia, Kamis (21/11/2024).
Said menyatakan aksi ini adalah bentuk protes terhadap kebijakan yang dianggap menekan rakyat kecil dan buruh. Ia juga menilai kenaikan tarif PPN akan memicu masalah ekonomi.
"Lesunya daya beli ini juga akan memperburuk kondisi pasar, mengancam keberlangsungan bisnis, dan meningkatkan potensi PHK di berbagai sektor," kata Said.
(Baca: Makin Banyak Usaha Kecil Kurangi Karyawan pada 2024)