S&P Global melaporkan, indeks manufaktur Indonesia yang diukur melalui Purchasing Manager's Index (PMI) mencapai 53,6 poin pada Februari 2025. Skor ini sudah masuk fase ekspansi atau lebih dari 50 poin.
Angka itu naik 1,7 poin dari Januari 2025 yang sebesar 51,9. S&P menyebut, skor Februari 2025 menjadi yang tertinggi dalam 11 bulan terakhir.
>
Menurut S&P, kenaikan skor indeks yang cukup signifikan ini mengindikasikan sehatnya sektor penghasil barang dan peningkatan yang solid pada kondisi operasional pabrik.
"Inti dari kenaikan di bulan Februari adalah percepatan kenaikan permintaan untuk barang-barang Indonesia," tulis S&P Global dalam laporan yang dikutip pada Selasa (18/3/2025).
Pesanan baru meningkat selama tiga bulan berturut-turut, dengan tingkat pertumbuhan terkuatnya terkuat sejak Maret 2024. Laporan anggota panel riset ini juga menunjukkan, aktivitas pasar telah meningkat, mendukung masuknya pekerjaan baru.
Melansir Katadata, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia bidang Perindustrian, Saleh Husin, menilai kenaikan skor tersebut didorong oleh antisipasi lonjakan penjualan menjelang Ramadan dan Lebaran 2025.
"Naiknya PMI Februari 2025 disebabkan antisipasi kenaikan penjualan pada bulan-bulan mendatang, seperti Ramadan dan Lebaran. Hal ini mendorong peningkatan stok bahan baku dan aktivitas produksi sejak Januari 2025," kata Saleh kepada Katadata, Selasa (4/3/2025).
Meski demikian, Saleh mengakui bahwa gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor manufaktur masih berlanjut, terutama di industri tekstil dan elektronik. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat jumlah tenaga kerja yang terkena PHK sepanjang 2024 meningkat 20,16% dibanding tahun sebelumnya, atau bertambah sebanyak 13.080 orang.
(Baca juga: Bisnis Manufaktur RI Ekspansif Lagi Awal 2025)
Opini lain disampaikan oleh Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia yang menyebut data PMI tidak memiliki korelasi langsung dengan angka PHK.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal menyebut data PMI mencerminkan perubahan bulanan, sedangkan PHK merupakan dampak akumulatif dari masalah jangka panjang. Hal tersebut menunjukkan adanya ketimpangan antar industri lokal, yakni antara industri padat modal dan padat karya.
Dia menilai peningkatan PMI pada Februari lalu lebih banyak dinikmati industri padat modal seperti makanan dan minuman. Sementara kinerja industri secara umum masih dalam kondisi ekspansi dan secara agregat menutupi kontraksi pada industri padat karya, termasuk PHK di industri tekstil.
"Industri padat karya relatif terseok, tapi industri padat modal mengalami peningkatan kinerja. Ini menjadi satu peringatan bagi pemerintah bahwa peningkatan performa industri tidak selalu diikuti peningkatan penyerapan tenaga kerja," kata Faisal.
(Baca Katadata: Alasan PMI Manufaktur Melonjak di Tengah Gelombang PHK)