Kinerja transisi energi Indonesia masih kalah dibanding Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Hal ini tercatat dalam laporan World Economic Forum (WEF) yang bertajuk Fostering Effective Energy Transition 2023.
WEF menilai kinerja transisi energi di 120 negara berdasarkan belasan indikator, di antaranya tingkat penggunaan energi bersih, pengurangan emisi karbon, kesiapan infrastruktur, sampai kerangka regulasi dan kemampuan finansial setiap negara untuk mendorong transisi energi.
Hasil penilaiannya kemudian dirumuskan menjadi Energy Transition Index (ETI) dengan sistem skor 0-100. Skor ETI 0 menunjukkan kinerja yang sangat buruk, sedangkan ETI 100 sangat baik.
Dengan metode tersebut, pada 2023 Malaysia memperoleh skor ETI 61,7, paling tinggi di Asia Tenggara. Kemudian di bawahnya ada Vietnam, Thailand, dan Indonesia dengan rincian skor seperti terlihat pada grafik.
Malaysia mendapat skor cukup tinggi karena dinilai memiliki ketahanan pasokan energi yang kuat, serta bauran energi yang sangat beragam.
Kemudian Vietnam mendapat nilai cukup baik karena memiliki investasi besar untuk energi terbarukan, yakni sekitar 1% dari produk domestik bruto (PDB) mereka.
Sementara skor Thailand hanya terpaut tipis dari Indonesia. Namun, mereka mendapat nilai lebih karena kesiapan regulasi, investasi, atau infrastruktur transisi energi yang lebih baik.
(Baca: 10 Negara dengan Transisi Energi Terbaik di Dunia, Swedia Juara)
Adapun menurut WEF, kinerja transisi energi Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan, terutama dalam bidang regulasi dan investasi.
"Dengan tidak adanya subsidi langsung untuk energi terbarukan (di Indonesia), mekanisme tarif saat ini tidak memungkinkan energi terbarukan untuk bersaing secara adil dengan infrastruktur berbasis bahan bakar fosil," kata WEF dalam laporannya.
"Selain itu, adanya kesenjangan dalam perencanaan dan kebijakan, serta kurangnya transparansi, menambah kompleksitas bagi investor," kata WEF.
WEF pun memberi sejumlah rekomendasi untuk meningkatkan kinerja transisi energi Indonesia, di antaranya:
- Membuat kebijakan tarif energi terbarukan;
- Menghapus hambatan regulasi untuk memfasilitasi perusahaan energi terbarukan;
- Mempercepat pertumbuhan infrastruktur energi terbarukan; dan
- Meningkatkan transparansi dalam perencanaan dan pembiayaan energi terbarukan.
(Baca: Pembangkitan Listrik Tenaga Surya Masih Lebih Mahal Dibanding PLTU pada 2022)