Perkelahian massal atau tawuran pelajar masih kerap terjadi di berbagai wilayah, meskipun trennya fluktuatif.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2014 peristiwa tawuran pelajar/mahasiswa terjadi di 0,4% desa/kelurahan Indonesia.
Lantas pada 2018 angkanya naik menjadi 0,65%, namun turun menjadi 0,22% pada 2021. Data ini mengindikasikan bahwa pada 2021 peristiwa tawuran berkurang atau hilang sama sekali di sejumlah lokasi.
Penurunan angka tawuran itu agaknya turut dipengaruhi situasi pandemi Covid-19, ketika pada 2021 pemerintah memberlakukan kebijakan pembatasan kegiatan sosial, termasuk aktivitas sekolah tatap muka.
(Baca: Tawuran Pelajar Paling Banyak Terjadi di Jawa Barat)
Adapun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menggolongkan tawuran atau perkelahian massal sebagai aksi kriminal yang diancam pidana penjara.
Aturannya tertera dalam Pasal 170 KUHP yang berbunyi:
(1) Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Yang bersalah diancam:
- dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka;
- dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat;
- dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut.
Pelaku tawuran juga dapat dijerat dengan Pasal 358 KUHP yang berbunyi:
Mereka yang sengaja turut serta dalam penyerangan atau perkelahian di mana terlibat beberapa orang, selain tanggung jawab masing-masing terhadap apa yang khusus dilakukan olehnya, diancam:
- dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, jika akibat penyerangan atau perkelahian itu ada yang luka-luka berat;
- dengan pidana penjara paling lama empat tahun, jika akibatnya ada yang mati.
Sehubungan dengan itu, Polres Metro Jakarta Selatan menyatakan bakal memasukkan riwayat pelaku tawuran ke dalam Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).
"Karena, setiap mendaftar pekerjaan atau apapun itu pasti membutuhkan SKCK, yang sumbernya dari tindakan sebelumnya. Jadi, apapun yang anak ini (pelaku tawuran) lakukan akan terdata terus dan terbawa," kata Wakapolres Metro Jakarta Selatan AKBP Harun, disiarkan Antara, Jumat (19/5/2023).
"Mungkin cita-cita dari kecil juga bisa hilang karena dia (pelaku tawuran) melakukan tindakan kriminalitas, mau cari kerja juga susah," lanjutnya.
AKBP Harun menilai, kebijakan ini bisa mendorong pelajar untuk berpikir panjang sebelum memutuskan terlibat dalam tawuran.
(Baca: Sebagian Besar Siswa Kini Gunakan Kendaraan Pribadi ke Sekolah)