Pemerintah Indonesia baru saja menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis Pertalite dan Solar, serta BBM nonsubsidi jenis Pertamax pada 3 September 2022.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu memperkirakan, kenaikan harga BBM bakal mengerek inflasi tahunan Indonesia ke kisaran 6,6%-6,8% sampai akhir 2022.
Angka tersebut lebih tinggi dari perkiraan inflasi sebelum kenaikan harga BBM yang hanya sebesar 4%-4,8%.
"Kenaikan harga BBM ini, kami ukur dampaknya menimbulkan tambahan inflasi 1,9%. Dengan kombinasi bahwa bahan pangan dipastikan selalu terjaga distribusinya, sehingga inflasinya bisa dijaga di bawah 7% hingga akhir tahun," kata Febrio, seperti dilansir Katadata.co.id, Senin (5/9/2022).
Tapi tak hanya mengerek inflasi, kenaikan harga BBM dan komoditas energi secara umum juga bisa berdampak pada perlambatan ekonomi. Hal ini diungkapkan Bank Dunia dalam laporan Global Economic Prospects edisi Juni 2022.
"Simulasi kami menunjukkan bahwa peningkatan harga energi, termasuk minyak bumi, gas alam, dan batu bara, dapat mengurangi pertumbuhan ekonomi global sebesar 0,5 poin persentase pada tahun 2022, kemudian mengurangi 0,8 poin persentase pada 2023," jelas Bank Dunia dalam laporan tersebut.
Bank Dunia juga menjelaskan tingkatan dampaknya akan berbeda pada negara maju dan negara berkembang.
Bagi negara maju, kenaikan harga energi diprediksi bisa mengurangi pertumbuhan ekonomi sebesar 0,69 poin persentase pada 2022 dan 0,95 poin persentase pada 2023.
Sedangkan untuk negara berkembang tingkat perlambatannya diperkirakan lebih rendah, yakni berkurang 0,16 poin persentase pada 2022 dan 0,49 poin persentase pada 2023.
Bank Dunia lebih lanjut menegaskan bahwa kenaikan harga secara umum berdampak baik bagi negara pengekspor komoditas energi, namun buruk bagi negara pengimpor.
"Negara-negara pengimpor minyak posisi fiskalnya dapat memburuk karena aktivitas ekonomi domestik melemah dan biaya pemberian subsidi BBM naik," jelas Bank Dunia.
"Dalam situasi ini pemerintah dapat memprioritaskan kebijakan yang mendorong efisiensi energi dan mempercepat transisi ke sumber energi rendah karbon. Sementara itu bantuan sosial yang ditargetkan untuk kelompok rentan bisa diprioritaskan ketimbang subsidi energi, yang dalam konteks sekarang dapat menunda transisi ekonomi nol karbon," lanjutnya.
(Baca: AS Prediksi Harga Minyak Dunia Turun sampai 2023)