Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2022 ada sekitar 4,3 juta unit usaha industri mikro dan kecil (IMK) di Indonesia.
IMK yang dimaksud dalam data ini adalah industri pengolahan/manufaktur yang memiliki pekerja kurang dari 20 orang per unit usaha.
(Baca: 10 Bidang Usaha yang Banyak Digeluti Industri Mikro dan Kecil Indonesia)
Pada 2022, sebanyak 99,52% industri mikro dan kecil (IMK) Indonesia tidak memiliki status badan usaha maupun badan hukum.
"IMK hingga saat ini masih dikategorikan sebagai usaha informal dengan produktivitas dan penggunaan teknologi rendah," kata BPS dalam laporannya.
Kendati begitu, pada 2022 ada juga sebagian kecil IMK yang sudah berstatus persekutuan komanditer atau commanditaire vennootschap (CV), dengan proporsi 0,39%.
Kemudian IMK yang berstatus perseroan terbatas (PT) ada 0,06%, koperasi 0,03%, dan yayasan 0,01% dengan rincian jumlah seperti terlihat pada grafik.
CV adalah badan usaha yang memiliki pembedaan posisi antara pemilik aktif (pengurus/pengelola) dan pemilik pasif (pemodal).
Namun, CV merupakan "badan usaha yang tidak berbadan hukum", di mana tidak ada pemisahan formal antara aset kekayaan perusahaan dengan kekayaan pribadi para pemiliknya.
Badan usaha yang sudah menerapkan pemisahan aset itu disebut "badan usaha yang berbadan hukum", statusnya bisa berupa PT, yayasan, atau koperasi.
Menurut Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham, Cahyo R. Muzar, status badan hukum bisa memberi keuntungan bagi pelaku usaha.
"Dengan adanya badan hukum formal, jika terjadi sengketa, maka bisa memisahkan tanggung jawab pribadi dan bisnis," kata Cahyo, disiarkan Katadata.co.id, Kamis (12/10/2023).
"Pelaku usaha yang mempunyai badan hukum formal juga bisa mendapatkan kredibilitas dan kepercayaan dari mitra bisnis," lanjutnya.
(Baca: Pengusaha Industri Mikro dan Kecil Mayoritas Lulusan SD)