Laporan Google, Temasek, Bain & Company mengungkap, Asia Tenggara merupakan salah satu wilayah yang paling banyak terpapar risiko dan konsekuensi dari perubahan iklim. Seiring dengan skala ekonomi digital yang semakin besar, emisi karbon yang dihasilam diproyeksi mencapai ~20 Metric tons of carbon dioxide equivalent (MTCO2e) pada tahun 2030.
Proyeksi CO2e dihitung berdasarkan Ruang Lingkup Protokol Gas Rumah Kaca 3, yaitu metodologi yang digunakan untuk menghitung tiga sektor utama ekonomi digital. Ketiga sektor tersebut yaitu transportasi, pengiriman makanan, dan e-commerce.
Laporan itu menjelaskan, jejak karbon dari transportasi dihitung dari perkiraan perjalanan rata-rata, termasuk jarak reposisi sopir per perjalanan, berdasarkan ukuran daerah perkotaan.
Kemudian, emisi dari food delivery berasal dari emisi pengemasan yang dihitung berdasarkan rata-rata jumlah dan jenis bahan-bahan yang digunakan. Selain pengemasan, emisi dari pengantaran makanan juga berasal dari emisi jarak rata-rata sopir atau pengendara ke titik penjemputan, lalu
ke pelanggan tujuan.
Selanjutnya untuk emisi karbon e-commerce, jejak karbon dihitung berdasarkan market share. Pertumbuhan karbon jejak diasumsikan mengikuti sektor pertumbuhan nilai penjualan bruto atau gross merchandise value (GMV).
Perjalanan online telah dikecualikan meskipun jejak lingkungan dari perjalanan udara,
karena platform online memfasilitasi pemesanan dan tidak mengeluarkan bahan CO2e sendiri.
(baca: Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia, dari Era SBY sampai Jokowi)