Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya variasi yang signifikan antarkelompok kelas ekonomi dalam proporsi biaya pendidikan terhadap total pengeluaran rumah tangga selama setahun pada 2024.
Rumah tangga dari kelas ekonomi miskin dan rentan miskin, rata-rata mengalokasikan sekitar 3,96% dan 3,62% dari total pengeluaran tahunannya untuk biaya pendidikan.
“Meskipun secara nominal angkanya tergolong kecil, bagi kelompok miskin proporsi ini bisa sangat membebani, terutama karena kebutuhan dasar lain, seperti pangan dan tempat tinggal cenderung lebih mendesak,” kata BPS dalam laporannya.
BPS mengatakan, data pengeluaran rumah tangga untuk pendidikan anak mencakup berbagai komponen, seperti sumbangan pembangunan sekolah (uang pangkal), uang sekolah dan komite, iuran kegiatan ekstrakurikuler, buku pelajaran, alat tulis, dan biaya kursus di luar sekolah.
Pengeluaran biaya maksimal untuk pendidikan di rumah tangga dari dua kelas ekonomi tersebut mencapai 28,38% dan 45,03% dari total pengeluaran tahunannya. Nilai maksimal pada kelompok rentan miskin, mencerminkan adanya pengorbanan konsumsi kebutuhan lain demi pendidikan.
Sementara itu, rata-rata proporsi biaya pendidikan rumah tangga dari kelompok menuju kelas menengah dan kelas menengah masing-masing mencapai 4,28% dan 6,66%, sedangkan nilai proporsi maksimal jauh lebih tinggi dibanding seluruh kelompok, yakni 67,42% dan 64,60%.
“Tingginya nilai maksimum ini juga bisa menandakan adanya tekanan biaya pendidikan yang besar bagi sebagian rumah tangga dalam kelompok ini, sehingga bisa berdampak pada stabilitas ekonomi keluarga secara keseluruhan,” ujar BPS.
Adapun pada rumah tangga kelompok kelas atas, rata-rata proporsi biaya pendidikan lebih tinggi dibandingkan kelas ekonomi yang lain, yaitu 6,87% dan alokasi maksimal sebesar 37,09%.
Menurut BPS, temuan ini memperkuat pentingnya perhatian pada kelompok menuju kelas menengah dan kelas menengah sebagai kelompok transisi yang rawan tergelincir dalam ketidakstabilan ekonomi karena tekanan biaya pendidikan yang relatif tinggi.
“Kebijakan subsidi pendidikan atau dukungan biaya pendidikan berskala progresif sangat relevan untuk kelompok ini agar mereka tidak kehilangan momentum menuju mobilitas sosial yang lebih baik,” kata BPS.
(Baca: Papua, Provinsi dengan Biaya Sekolah SMA Tertinggi di Indonesia)