Masyarakat yang menjalani gaya hidup berkelanjutan atau sustainable living meningkat di skala global. Tapi, pertumbuhannya belum cukup pesat.
Hal ini terlihat dari laporan survei Healthy & Sustainable Living Report 2023 yang dirilis lembaga riset GlobeScan.
Gaya hidup berkelanjutan adalah perilaku yang diharapkan bisa memberi manfaat jangka panjang bagi ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Hal ini bisa mewujud dalam berbagai tindakan keseharian, mulai dari pilihan belanja sampai pola diet.
Menurut survei GlobeScan, gaya hidup berkelanjutan yang paling populer adalah membawa tas sendiri saat berbelanja untuk menghindari penggunaan plastik.
Pada 2019 kebiasaan tersebut sudah dijalani oleh 63% responden global, lantas pada 2023 proporsinya naik menjadi 67%.
Peningkatan serupa terjadi dalam hal daur ulang sampah, mencuci dengan air dingin alih-alih air panas, menghindari plastik sekali pakai, dan menghindari penggunaan kemasan produk berlebih.
Ada pula peningkatan preferensi responden global dalam membeli produk organik, mengutamakan konsumsi sayuran ketimbang daging, serta membeli barang bekas, yang semuanya diharapkan bisa berkontribusi bagi kelestarian lingkungan.
Perubahan Belum Masif, Perlu Peran Pemerintah dan Industri
Namun, dari 9 jenis gaya hidup berkelanjutan yang disurvei GlobeScan, ada 1 yang trennya melemah yaitu penghematan energi alat pendingin/pemanas ruangan.
Pada 2019 proporsi responden global yang berhemat dalam memakai alat tersebut mencapai 63%, kemudian pada 2023 turun menjadi 62%.
GlobeScan juga menilai, meski ada peningkatan dalam beberapa hal, aksi gaya hidup berkelanjutan belum masif secara global dan masih jauh dari ideal.
"Orang-orang tidak mengubah perilaku mereka sesuai skala yang dibutuhkan menurut sains," kata tim GlobeScan dalam laporannya.
"Aksi-aksi yang lebih berdampak, seperti mengutamakan konsumsi sayuran ketimbang daging, atau mengutamakan beli barang bekas dibanding barang baru, masih terpinggirkan," lanjutnya.
GlobeScan juga menyoroti bahwa proporsi responden global yang menghindari plastik sekali pakai masih di bawah 50%.
Bertolak dari data ini, GlobeScan menilai perubahan masif hanya mungkin dicapai melalui intervensi pemerintah dan industri.
"Konsumen tak bisa diharapkan untuk mendorong perubahan perilaku skala besar, karena ada faktor-faktor di luar kendali mereka seperti kendala keuangan dan infrastruktur," kata tim GlobeScan.
"Kita perlu mengubah pendekatan, bukan lagi mengandalkan tanggung jawab konsumen untuk membuat pilihan tepat, tapi mendorong peran perusahaan untuk membuat konsumen hidup lebih baik dan berkelanjutan," lanjutnya.
GlobeScan melakukan survei ini di 23 negara dari berbagai benua, mencakup negara-negara berpopulasi besar seperti India, China, Amerika Serikat, dan Indonesia.
Survei terakhirnya digelar pada Juli-Agustus 2023 dengan melibatkan antara 500-1.500 responden dari masing-masing negara.
(Baca: Informasi tentang Produk Berkelanjutan Masih Minim di ASEAN)