Mengenal Teluk Ciletuh, Ekosistem Budaya Lokal Bernilai Tinggi

Pariwisata
1
Nabilah Muhamad 07/05/2024 13:21 WIB
Tren Jumlah Wisatawan di Geopark Ciletuh-Palabuhanratu (2012-2020)
databoks logo
  • A Font Kecil
  • A Font Sedang
  • A Font Besar

Teluk Ciletuh, yang masuk dalam kawasan Geopark Ciletuh-Palabuhanratu, menjadi salah satu objek ekowisata pesisir yang digandrungi wisatawan.

Ekowisata yang berlokasi di Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat ini memiliki luas sekitar 128 ribu hektare (ha) dan pemandangan alam berupa mega amfiteater terbesar di Indonesia dengan diameter 15 kilometer (km) yang menghadap ke Samudra Hindia. Kawasan ini melingkupi 74 desa dan 8 kecamatan. 

Sejumlah objek yang berdiri dalam kawasan ini di antaranya pantai, Vihara Dewi Kwan Im, Puncak Darma, Curug Awang, Curug Sodong, tebing Panenjoan. Tidak ada tiket masuk ke Geopark, pengunjung hanya perlu membayar parkir dan retribusi yang disesuaikan di beberapa objek atau wahananya. 

Data Badan Pengelola Geopark Ciletuh-Palabuhanratu yang diolah Eka Yudhistira dkk. dalam jurnal yang diterbitkan 2021 menunjukkan bahwa jumlah pengunjung yang datang ke ekowisata tersebut mulanya hanya 343,91 ribu orang pada 2012.

Menginjak 2015, status Teluk Ciletuh naik menjadi geopark nasional. Sejurus itu, jumlah kunjungan wisatawan naik signifikan menjadi 561,12 ribu pengunjung. 

Tiga tahun berselang, UNESCO juga menetapkan Geopark Ciletuh-Palabuhanratu sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark Network, tepatnya pada 17 April 2018. Penetapan status tampaknya mempengaruhi kunjungan wisatawan hingga mencapai 1,17 juta orang—menjadi level tertinggi selama hampir sedekade.

Namun sayangnya jumlah wisatawan ambruk hingga 69,70% (year-on-year/yoy) menjadi 265,72 ribu orang pada 2020 karena adanya pembatasan aktivitas akibat pandemi Covid-19.

Ramainya kunjungan mengindikasikan tingginya minat dan preferensi wisatawan terhadap keindahan lanskap Teluk Ciletuh. Penelitian Eka dkk. ini juga menemukan, Teluk Ciletuh bisa mengantongi nilai ekonomi jasa ekosistem budaya hingga Rp862,64 miliar per tahun atau Rp77,91 juta per hektare per tahun.

Eka dan koleganya menilai, angka tersebut menjadi sinyal untuk pemerintah agar membuat kebijakan pengelolaan tata ruang yang tepat sehingga bisa mengembangkan jasa ekosistem budaya lokal. 

Mengutip jurnal Wei dkk., Eka menyebut jasa ekosistem budaya sebenarnya bisa menuai manfaat non-material dari pengayaan spiritual, rekreasi, pengembangan kognitif, hingga pengalaman estetis yang dialami seseorang, terutama wisatawan yang mengunjungi objek wisata alam. 

Pengalaman ini tentu berimplikasi terhadap penilaian jasa ekosistem budaya yang merupakan penggabungan antara karakteristik biofisik dan kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal serta wisatawan.

“Jurnal Lee dan kawan-kawan menunjukkan jasa ekosistem budaya memiliki potensi kontribusi besar dalam meningkatkan biodiversitas dan ekonomi lokal,” tulis Eka dan peneliti lainnya dalam jurnal Strategi Pengelolaan Kawasan Ekowisata Pesisir Melalui Pendekatan Jasa Ekosistem Budaya: Studi Kasus di Teluk Ciletuh.

(Baca: Indonesia Masuk Daftar Destinasi Ekowisata Terbaik di Dunia)

Data Populer
Lihat Semua