Nilai ekonomi karbon (carbon pricing) adalah harga yang harus dibayar publik atas emisi karbon atau gas rumah kaca yang mereka hasilkan.
Setiap negara dapat menetapkan kebijakan harga karbon yang berbeda. Namun, menurut Bank Dunia, harga karbon yang ideal untuk mencegah pemanasan global berkisar antara US$40-US$80 per metrik ton CO2 pada tahun 2020, lalu dinaikkan hingga mencapai kisaran US$50-US$100 per metrik ton pada tahun 2030.
Kebijakan harga karbon juga dapat diterapkan lewat berbagai skema, seperti perdagangan izin emisi karbon (carbon trading), pengimbangan tingkat emisi dan penyerapan karbon (carbon offset), atau pajak karbon (carbon tax).
"Harga karbon memberi sinyal ekonomi kepada para penghasil emisi. Mereka bisa memutuskan untuk menurunkan emisi, atau terus menghasilkan emisi dan membayar harganya," kata Bank Dunia di situs resminya.
"Kebijakan ini dapat membantu menggerakkan investasi keuangan untuk teknologi bersih, inovasi pasar, dan mendorong pertumbuhan ekonomi baru yang rendah emisi karbon," lanjut Bank Dunia.
Berdasarkan laporan Bloomberg NEF, negara G20 yang menetapkan harga karbon termahal adalah Inggris, dengan tarif rata-rata US$83 per metrik ton CO2.
"Eropa dan Kanada adalah pemimpin G20 dalam hal kebijakan karbon yang kuat. Harga karbon yang mereka tetapkan sudah cukup sesuai, bahkan di atas level yang diperlukan untuk membatasi pemanasan global hingga 2 derajat Celcius," kata Bloomberg NEF dalam laporan Climate Policy Factbook COP27 Edition.
Menurut Bloomberg NEF masih ada sejumlah negara G20 yang belum memiliki kebijakan harga karbon, yaitu Arab Saudi, Turki, Rusia, India, dan Brasil.
Sementara itu, Indonesia sudah memiliki regulasi pajak karbon yang tadinya akan berlaku mulai 1 April 2022. Namun, belakangan pemerintah menunda pemberlakuannya sampai 2025 karena isu kenaikan harga energi dan inflasi.
(Baca: Pajak Karbon Indonesia Tergolong Rendah di Skala Global)