Saat dilanda krisis finansial 1998, pemerintah Indonesia terpaksa meminta bantuan kepada International Monetary Fund (IMF). Ini ditandai dengan penandatangan Letter of Intens (LoI) oleh Presiden Soeharto di hadapan Direktur IMF Michael Camdesus pada 15 Januari 20 tahun silam.
Selama mengalami krisis ekonomi, IMF menyetujui pinjaman untuk Indonesia sebesar 17,36 miliar Special Drawing Rights (SDR) setara US$ 23,53 miliar atau sekitar Rp 130 triliun. Namun, yang dicairkan hanya sebesar 11,1 miliar SDR atau sekitar US$ 14,99 miliar. Jumlah tersebut ekuivalen dengan Rp 93,5 triliun.
Pada 5 November 1997, IMF menyetujui pinjaman dalam bentuk stanby arrangements (sba) senilai 8,34 miliar SDR, tapi yang dicairkan hanya 3,67 miliar SDR. Kemudian pada 25 Agustus 1998, Lembaga Moneter Internasional menyetujui pinjaman dalam bentuk extended fund facility (eff) senilai 5,38 miliar SDR namun yang dicairkan hanya 3,8 miliar SDR. Lalu, pada 4 Februai 2000 kembali disetujui sebesar 3,64 miliar SDR dan semua dicairkan. Pinjaman IMF tersebut tidak dicairkan secara langsung tetapi secara bertahap mulai 1997 hingga 2003. Namun, semua utang tersebut sudah lunas pada Oktober 2006 di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.