Kinerja jasa transportasi masih menjadi komponen penyumbang defisit terbesar pada neraca jasa pada kuartal kedua 2021. Itu disebabkan oleh meningkatnya biaya impor barang yang lebih besar dibanding biaya ekspor.
Bank Indonesia (BI) dalam laporan Neraca Pembayaran Indonesia menyebutkan, neraca jasa-jasa mengalami defisit US$ 3,65 miliar atau setara Rp 52,95 triliun (kurs Rp 14.496/dolar AS) pada kuartal II-2021. Defisit tersebut melebar 8,36% dibanding kuartal I-2021 (month to month/m-to-m).
Dibandingkan dengan kuartal II-2020, defisit neraca jasa-jasa bahkan melonjak 71,57% (year on year/yoy). Secara akumulasi pada semester I-2021 juga meningkat 82,07% (cumulative to cumulative/c-to-c).
Jasa transportasi menjadi penyumbang defisit jasa-jasa pada tiga bulan kedua tahun ini, yakni sebesar US$ 1,61 miliar, kemudian Telekomunikasi, komputer dan informasi US$ 796,12 juta, jasa bisnis lainnya US$ 745,07 juta, penggunaan kekayaan intelektual US$ 395,35 juta.
Jasa asuransi dan dana pensiun menyumbang defisit US$ 288,48 juta, jasa keuangan US$ 70,77 juta, jasa konstruksi US$ 16,73 juta, jasa pemeliharaan dan perbaikan US$ 0,18 juta.
Sementara, jasa manufaktur menyumbang surplus terbesar US$ 120,02 juta, diikuti jasa pemerintah US$ 102,21 juta, jasa perjalanan US$ 49,39 juta dan persolanl, kulturan dan rekreasi US$ 2,04 juta.
Sebagai informasi, neraca transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit sebesar US$ 2,23 miliar atau 0,08% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal II-2021.
(Baca: Defisit Neraca Transaksi Berjalan Indonesia Capai US$ 2,23 Miliar pada Kuartal II-2021)