Nilai tukar Rupee Sri Lanka (LKR) yang terdepresiasi terhadap dolar Amerika Serikat (AS) memicu lonjakan harga makanan dan lainnya, termasuk harga bahan bakar minyak (BBM).
Berdasarkan data Departemen Sensus dan Statistik Sri Lanka, negara ini mengalami inflasi 18,8% pada Maret 2022 dibanding Maret tahun sebelumnya (year on year/yoy). Angka tersebut lebih tinggi dibanding bulan sebelumnya 15,1% (YoY). Inflasi Sri Lanka menunjukkan tren kenaikan mulai Oktober 2021 seiring naiknya harga minyak seperti terlihat pada grafik.
Bahkan indeks pangan telah naik 30,1% selama setahun terakhir dan melonjak 42,2% dibanding Desember 2019.
Seperti diketahui, Sri Lanka diambang kebangkrutan setelah melakukan penangguhan pembayaran utang yang sudah jatuh tempo. Mata uang LKR telah terdepresiasi lebih dari 63% terhadap dolar AS sepanjang tahun ini (year to date/ytd).
Berdasarkan data Asian Development Bank (ADB), rasio pendapatan Sri Lanka turun 0,8 persen poin menjadi 8,6% seiring menyusutnya pertumbuhan pendapatan pajak dan bukan pajak.
Defisit fiskal Sri Lanka pada 2021 diperkirakan menyempit menjadi 11,1% dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 12,75% terhadap PDB. Hal ini karena semakin terbatasnya pembiayaan fiskal yang bisa diperoleh, baik dari pasar keuangan domestik maupun global.
Rasio utang pemerintah meningkat menjadi 107% terhadap PDB pada 2021 (estimasi) akibat dampak pandemi Covid-19. Sebelumnya terjadi pandemi pada 2019, rasio utang pemerintah Sri Lanka sebesar 86,8% terhadap PDB.
(Baca: Rupee Sri Lanka Melemah Lebih dari 60% Terhadap Dolar Amerika)