Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), kinerja ekspor minyak kelapa sawit Indonesia melemah pada 2024.
Sepanjang 2024 volume ekspornya hanya mencapai 24,21 juta ton, turun 15,4% dibanding 2023 (year-on-year/yoy).
Kemudian nilai ekspornya turun 8,8% (yoy) menjadi US$22,87 miliar.
Penurunan kinerja ini terjadi di tengah naiknya harga komoditas. Menurut data Bank Dunia, rata-rata harga minyak sawit yang menjadi acuan global pada 2024 naik 8,7% (yoy) karena produksi berkurang.
Namun, Bank Dunia memperkirakan tren harganya akan terkoreksi dalam dua tahun depan karena stoknya kembali bertambah.
"Harga minyak sawit diperkirakan turun 7% (yoy) pada 2025 dan turun 1% (yoy) pada 2026 seiring pulihnya produksi global," kata Bank Dunia dalam Commodity Markets Outlook edisi Oktober 2024.
(Baca: Pertumbuhan Luas Perkebunan Sawit Swasta, Rakyat, dan Negara 1970-2024)
Adapun mulai 1 Maret 2025 pemerintah Indonesia mewajibkan eksportir untuk menempatkan 100% devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) dalam rekening khusus di bank nasional selama 12 bulan, termasuk hasil ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO).
"[Penempatan 100% DHE SDA di bank nasional selama 12 bulan] terutama untuk batu bara, CPO, dan nikel, tiga komoditas yang paling besar peranannya di dalam menghasilkan ekspor dan devisa kita," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers, Senin (17/2/2025).
Sri Mulyani menyatakan kebijakan baru ini bertujuan agar hasil ekspor sumber daya alam Indonesia bisa betul-betul masuk ke dalam negeri dan memperkuat perekonomian nasional.
"Sistem perbankan dan sistem keuangan kita juga akan terus diperkuat sehingga mereka juga mampu untuk terus memberikan services kepada para eksportir tersebut," ujarnya.
(Baca: Minyak Sawit, Produk Utama Perkebunan Besar RI pada 2023)