Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024, pemerintah mewajibkan pekerja untuk menjadi peserta Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dan membayar iuran setiap bulan, selambat-lambatnya mulai 2027.
Iuran Tapera itu besarnya 3% dari gaji bulanan, dengan rincian 2,5% diambil dari gaji pekerja, dan 0,5% dibayar oleh perusahaan/pemberi kerja.
Namun, menurut hasil survei Litbang Kompas, sebagian besar masyarakat menolak kebijakan ini.
Proporsi responden yang tak setuju dengan Tapera dan tak mau ikut program tersebut mencapai 43,1%.
Hanya ada 16,2% responden yang setuju dan bersedia ikut, sedangkan 12% responden lain setuju tapi tak mau ikut.
"Mereka [yang setuju tapi tak mau ikut] adalah kelompok yang mau menerima manfaat bantuan perumahan dari pemerintah, tetapi tidak setuju dengan skema yang ditawarkan saat ini," kata tim Litbang Kompas dalam laporannya, Selasa (11/6/2024).
Survei ini juga mengungkap, dari kelompok responden yang menolak Tapera, 52,8% beralasan program ini membebani keuangan mereka.
Lalu 17,4% menolak karena sudah punya rumah, 11,5% tidak bisa menerima manfaat program karena berpenghasilan lebih dari Rp8 juta per bulan, serta 9,9% menilai program Tapera belum jelas dan belum bisa dipercaya.
Survei Litbang Kompas ini melibatkan 524 responden berusia 17-44 tahun yang berpendidikan menengah hingga tinggi. Responden dipilih secara acak dan proporsional di 38 provinsi Indonesia.
Koleksi data dilakukan pada 5-8 Juni 2024 melalui wawancara telepon. Toleransi kesalahan survei (margin of error) sekitar 4,28% dan tingkat kepercayaan 95%, dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana.
(Baca: CELIOS: 44% Dana Tapera Masuk SBN, Bisa Dipakai untuk IKN)