Pertamina mulai bersiap mengadopsi energi terbarukan, salah satunya penggunaan kendaraan listrik. Perusahaan pelat merah ini memprediksi akan terjadi kenaikan kebutuhan kapasitas baterai. Jumlah kebutuhannya berbeda-beda, tergantung pada skenario energi yang digunakan. Skenario tersebut terbagi atas Business as Usual (BAU), Market Driven (MD), dan Green Transition (GT).
Berdasarkan skenario BAU, penetrasi transisi energinya masih rendah. Sebab penggunaan batu bara masih mendominasi. Skenario yang juga belum mendapat dukungan kebijakan energi terbarukan ini diprediksi hanya membutuhkan kapasitas baterai kendaraan listrik 2 Gigawatt jam (GWh) pada 2030. Angkanya meningkat menjadi 34 GWh pada 2050.
Sementara itu, dalam skenario MD membutuhkan kapasitas baterai kendaraan listrik 11 GWh pada 2030 dan bertambah menjadi 160 GWh pada dua dekade setelahnya. Skenario MD mulai mengalami penetrasi transisi energi, sebab telah dilindungi dengan kebijakan energi terbarukan dan aturan terkait emisi.
Skenario terakhir adalah GT sekaligus rencana tertinggi dalam transisi energi terbarukan. Sebab kebijakan terkait energi terbarukan sudah ditetapkan. Sehingga prediksi terhadap kebutuhan kapasitas baterai kendaraan listrik juga tertinggi. Dari 41 GWh pada 2030 menjadi 198 GWh pada 2050.
(Baca: Pertamina Kurangi Premium, Dorong Penjualan Pertamax)