Jumlah konflik agraria sulit diredam dari tahun ke tahun. Fluktuasi kasus ini didasari oleh kondisi agraria nasional yang tidak stabil tanpa adanya ujung penyelesaian. Akibat dari konflik agraria ini, selalu ada korban yang berjatuhan entah karena ditembak, dianiaya, maupun ditahan.
Apabila ditinjau dari catatan akhir tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), terdapat 659 konflik agraria yang terjadi pada 2017. Hal ini merupakan ledakan angka kasus tertinggi selama lima tahun terakhir. Sementara itu, laju perkembangan kasus ini melonjak naik sebesar 78,67% dari 2015 ke 2016. Namun pada tahun terakhir pencatatan yakni 2018, konflik terjadi sebanyak 410 kasus, yang berarti menurun dibandingkan angka tahun sebelumnya.
Pada kenyataannya, konflik agraria sebagian besar dipicu oleh kebijakan pejabat publik yang berdampak luas pada dimensi sosial, ekonomi, dan politik. Sektor yang paling banyak menyumbang terjadinya konflik agraria yaitu sektor perkebunan. Pada 2018, 60% dari 144 konflik agraria di sektor perkebunan timbul pada komoditas kelapa sawit. Hal ini dikarenakan adanya praktek pembangunan dan ekspansi perkebunan di Indonesia yang melanggar hak-hak masyarakat atas tanah.
(Baca Databoks: Tingkatkan Produktivitas CPO, Pemerintah Salurkan Rp 332 Miliar Peremajaan Sawit Rakyat)