42 Ribu Pekerja RI Terkena PHK hingga Semester I 2025, Ini Trennya

Ketenagakerjaan

Premium

Nabilah Muhamad 18/07/2025 11:20 WIB

URL telah disalin

Memuat...

Data Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan, terdapat 42.385 karyawan di Indonesia yang terkena PHK selama semester I 2025. Secara tren, gelombang PHK paling tinggi terjadi pada Februari.

Tren Jumlah Karyawan yang Terkena PHK di Indonesia (Januari-Juni 2025)

A Font Kecil
A Font Sedang
A Font Besar

Anda mengakses konten Single Data Premium.
Untuk meneruskan, silakan berlangganan, atau beli secara satuan.

Professional

Nikmati akses premium dengan harga yang lebih terjangkau.

Mulai dari

~~Rp300.000~~ 150.000/bulan

Akses lebih banyak konten premium dan fitur eksklusif khusus pelanggan.

Mulai dari

50.000/bulan

Hanya Rp833 per artikel

Lebih detail »

Beli Satuan

Langsung baca artikel “42 Ribu Pekerja RI Terkena PHK hingga Semester I 2025, Ini Trennya”.

Rp10.000

Kami menerima pembayaran berikut:

Beberapa metode pembayaran masih dalam proses aktivasi.

Tren Jumlah Karyawan yang Terkena PHK di Indonesia (Januari-Juni 2025)

Unduh

Sumber

A Font Kecil
A Font Sedang
A Font Besar

Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menunjukkan, terdapat 42.385 karyawan di Indonesia yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) selama semester I 2025.

Jika dilihat berdasarkan trennya, kasus PHK di Tanah Air paling tinggi terjadi pada Februari dengan total 17.796 kasus.

Lalu jumlah menurun pada bulan-bulan berikutnya. Data terakhir pada Juni 2025 menjadi 1.609 kasus PHK.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Presiden Partai Buruh Said Iqbal menilai, meluasnya PHK di berbagai sektor industri disebabkan oleh kebijakan tarif impor yang ditetapkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap Indonesia.

"Dengan membanjirinya produk AS yang nol persen tarif, produsen-produsen lokal, UMKM, dan pabrik-pabrik kecil akan kalah bersaing. Apa yang terjadi? PHK juga," kata Iqbal dalam keterangannya, dilansir dari Kompas.com, Jumat (18/7/2025).

Ia menjelaskan, pemerintah Indonesia telah menjalin kesepakatan dengan pemerintah AS, yang sebelumnya menetapkan tarif impor terhadap barang-barang RI sebesar 32% menjadi 19%.

Namun, penurunan tarif ini disertai konsekuensi Indonesia harus membuka keran impor produk-produl AS dengan tarif non persen dan tanpa hambatan (non-tariff barrier).

“Secara kasat mata, seolah-olah Indonesia diuntungkan. Tapi ingat, penurunan tarif ini disertai pengorbanan besar, produk AS bebas masuk tanpa dikenakan tarif. Ini adalah bentuk penggadaian kedaulatan ekonomi nasional,” kata Iqbal.

(Baca: Banyak PHK, Klaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan Meningkat

Editor : Erlina Fury Santika