Membaca Perbandingan Konsumsi Kelas BBM untuk Transportasi Indonesia

Laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, volume pemakaian bahan bakar minyak (BBM) sektor transportasi di Indonesia berfluktuasi.

Sedikitnya ada empat kelas BBM yang umum digunakan masyarakat Indonesia, di antaranya BBM RON 88, RON 90, RON 92, dan RON 95+98+100.

RON 88 atau biasa dikenal masyarakat dengan merek dagang Premium dari Pertamina, merupakan BBM dengan oktan terendah dan sudah tidak digunakan lagi sejak 2023. Namun pemakaiannya cukup tinggi, bahkan sempat mencapai 28,62 juta kiloliter (kl) pada 2013. Volume konsumsinya kemudian terus susut hingga menjadi 6,11 ribu kl pada 2022.

Pemakaian terbesar kedua adalah RON 90, terdapat pada BBM Pertalite dari Pertamina. BBM ini baru digunakan masif pada 2015 dengan volume 379,95 ribu kl. Angkanya melonjak menjadi 14,48 juta kl pada 2017 hingga menjadi 30,22 juta kl pada 2023—menjadi yang tertinggi selama sedekade. 

Ketiga adalah RON 92 dengan pemakaian mencapai 850,4 ribu kl pada 2013. Volumenya kemudian meningkat manjadi 5,4 juta kl pada 2023. Rentang pemakaian BBM jenis ini memang terjaga antara 850 ribu-6 juta kl selama sedekade terakhir.

Keempat adalah RON 95+98+100 dengan oktan tertinggi, biasa ditemukan di Pertamax Green 95, Shell V-Power Revvo 95, Performance 95, dan BP 95. Volume pemakaiannya berada di rentang 150 ribu-480 ribu kl selama 10 tahun terakhir. Pemakaian paling besar terjadi pada 2021, sebesar 481,18 ribu kl.

Melansir Katadata.co.id, pemerintah berencana membatasi pendistribusian BBM subsidi pada Oktober 2024. Hal ini diungkapkan oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pada Selasa (27/8/2024).

Pengamat Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan rencana pembatasan ini menurutnya tidak efektif. “Tidak akan efektif karena saat ini belum ada kriteria yang jelas untuk diterapkan,” kata Fahmy kepada Katadata.co.id pada Kamis (29/8/2024).

Menurutnya, sebelum pemerintah berencana membatasi BBM subsidi seharusnya melakukan beberapa proses, pertama dengan memutuskan terlebih dahulu mekanisme yang akan digunakan.

“Saya usulkan, misalnya BBM subsidi ini hanya bisa dikonsumsi oleh sepeda motor, angkutan barang, dan angkutan orang yang berplat kuning. Sehingga SPBU dengan mudah bisa menentukan mana konsumen BBM subsidi, selain tiga golongan di atas maka harus menggunakan BBM non-subsidi,” ujarnya.

Setelah pemerintah selesai menentukan kriteria, hal selanjutnya yang dilakukan adalah menentukan penetapan dasar hukumnya, dalam hal ini revisi peraturan presiden (Perpres) Nomor 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.

“Jika terdapat penyimpangan namun ada dasar hukumnya maka aparat bisa menindak, tapi kalau seperti sekarang ya tidak bisa,” ucapnya.

Ketiga, Fahmy menyebut pemerintah harus mensosialisasikan terkait pembatasan BBM subsidi tersebut. Sosialisasi tersebut mencakup alasan pemerintah mengambil kebijakan ini, yang ditujukan untuk mengurangi polusi udara.

(Baca juga: Konsumsi BBM Kelas Pertalite Meningkat, Capai Rekor pada 2023)